Saturday, February 19, 2005

Kota Terkorup dan Terkurap!

Kompas, Sabtu, 19 Februari 2005

JAKARTA menjadi sorotan lagi. Kali ini sang Ibu Kota dibilang "kota terkorup", berdasarkan survei Transparency International Indonesia (TII). Konon katanya dari penelitian TII bulan September–Desember 2004, 90 persen lebih dari 1.305 responden menyatakan pernah nyogok pejabat duit sebesar antara Rp 375 ribu dan Rp 150 juta agar urusannya licin dan rutin. Pejabat paling korup, kata TII lho, paling top dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta kantor Pajak. Nah!
Data survei TII itu dianggap biasa-biasa saja, begitu pendapat Kepala Bappenas Sri Mulyani. Sogokan sebagai uang pelicin ke dompet pejabat Bea Cukai dan Pajak, umumnya dihitung biaya tambahan bagi pengusaha, juga sebagai ongkos jaminan agar usahanya kagak diobok-obok dan diresehin pejabat korup itu.
Nanggapin soal Jakarta kota terkorup, katanya bikin geram Gubernur Sutiyoso. Sebab, temuan survei TII terhadap 21 kota se-Indonesia itu, bukan hanya menyoroti Pemprov DKI Jakarta doang. Juga semua orang tahu, di Jakarta ada pemerintah pusat, termasuk unsur legislatif dan eksekutifnya. Jadi meski Jakarta sebagai kota terkorup, belum tentunya pejabat Pemprov DKI juga dicap "terkorup". Kalau pejabat Bea Cukai atau tukang pajak yang dicap terkorup, itu kan di luar wewenang Pemprov DKI, iya enggak!
Lepas dari tangkis-menangkis itu, menurut pengusaha rekanan Pemprov DKI Jakarta, Balai Kota itu sungguh suatu "lahan korupsi" bagi PNS di sononye. Misalnya untuk memperoleh sebuah proyek, pengusaha harus mencecerkan uang sogokan ke atas sekitar 50 meja. Setiap meja pejabat keroco yang 20-an itu, sedikitnya harus nyogok uang gobanan alias Rp 50 ribuan. Kalau meja pimpinan, paling kagak harus cepekceng atau Rp 100.000. Untuk proyek besar, sogokan pun main juta-jutaan.
Dari itungan-itungan sogok sana suap sini itu, pengusaha rekanan paling top kebagian untung sekitar 15 persen. "Kalau tidak main belakang, kami takut tidak kebagian proyek. Sebab pegawai pemprov juga ikut main, minjem dan pake nama perusahaan lain," katanya sambil menjelaskan, budaya korupsi itu juga ngeruyak ke bidang perizinan. Selain ngejlimet ngurus izin, juga biaya siluman berpakaian baju dinas itu, sungguh nyekek leher dan kantong kempes pengusaha kelas cekak.
POKOKNYA dari atas sampai ke bawah, berurusan dengan pejabat kelas bawahan sampai atasan di Jakarta, memang harus kudu serba keluar duit ekstra. Interaksi korupsi ini jamaknya terjadi saat pengurusan izin kerja, pekerjaan umum, pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, ngurus izin bisnis, sampai ke pembayaran tagihan listrik dan air minum.
Di bidang perpolitikan, soal sogok-menyogok juga tetap terjadi, makanya ada sebutan money politics. Entah gimana perasaan pimpinan dan pejabat yang mengendalikan kota ini. Sebab Indonesia yang terdaftar sebagai negara terkorup di dunia, di antara 146 negara di dunia, ujug-ujugnya TII menyebutkan kalau Jakarta pun menjadi kota terkorup di negeri terkorup ini. Juru bicara Pemprov DKI menyatakan, pernyataan TII itu harus menjelaskan lebih detail interaksi korupsi apa saja yang terjadi.
Kalau Pemprov DKI tersinggung dibilang sebagai kota terkorup oleh TII, mungkin harus meminta "klarifikasi" ke TII. Namun kalau banyak warga menyebut Jakarta sebagai "kota terkurap", mungkin harus dipikirin sekali. Ibaratnya manusia, badan kota ini kulitnya lagi kurapan. Bukan cuma jalanan aspal di pinggiran kota, tapi jalan bulevar dekat Istana Negara, aspalnya sudah kurapan. Dibanding ibu kota lainnya, mungkin Jakarta kota terkurap, juga terkorup. Ups! (BD)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home