Wednesday, March 02, 2005

Jakarta is sinking fast, agency says

City News - February 28, 2005

Bambang Nurbianto, The Jakarta Post, Jakarta

The construction of high-rise buildings and the overexploitation of groundwater has caused the capital to sink by up to 100 centimeters over the past 12 years, according to an expert.

Citing a joint study with PT Succonfindo, City Mining Agency head Haris Pindratno said over the weekend the sinkage would undermine any efforts to mitigate the flooding that has plagued the capital over the past few years.

Data provided by the agency indicates the land subsidence varies from one place to another, with North Jakarta experiencing the greatest amount of sinkage.

"The land along Jl. Sunter Kebayoran was 3.42 meters above sea level in 1993, but it stands at just 2.4 meters this year," said Haris, adding that swampy areas in North Jakarta converted into residential areas, offices and commercial space experienced the most severe land subsidence.

Dozens of high-rise hotels, apartments, offices, malls and shopping centers are erected across this city of 12 million people every year. According to official estimates, some 250 million cubic meters of water is removed from beneath Jakarta every year.

Haris said the construction of new buildings contributed 80 percent to land subsidence, water exploitation 17 percent and natural land subsidence only 3 percent.

"This means that Jakarta's land continues to sink as the construction of massive high-rise buildings and excessive water exploitation continues unabated," Haris said.

The agency said that from 1999 to 2005, land in North Jakarta sank by between two centimeters and eight centimeters per year, West Jakarta by 2.2 centimeters, East Jakarta by 1.3 to three centimeters and South Jakarta by two centimeters.

The survey also found that a six-story building measuring 30 meters by 40 meters in Central Jakarta could cause up to 71 centimeters of land subsidence within 20 years.

"If a six-story building can cause up to 71 centimeters of land subsidence, how about buildings that are 30-stories or higher," Haris said.

Most of Jakarta's skyscrapers are found along Jl. Rasuna Said and Jl. Sudirman in South Jakarta, and Jl. Thamrin in Central Jakarta.

According to Haris, continued land sinkage would undercut efforts to stop annual flooding in the city.

He also called for more money from the budget for water conservation projects in the capital.

Haris said tax revenue from groundwater reached Rp 52 billion (US$5.778 million) last year, but the city allocated only Rp 250 million to construct 45 reservoirs.

"The city increased the allocation for similar projects to Rp 527 million this year," he said, adding that Jakarta needed some 9,000 more water reservoirs. Currently, the city has about 6,400 reservoirs.

Land subsidence in Jakarta

No. Location Height above Height above sea Land
sea level in 1993 level in 2005 Subsidence
(in meters) (in meters) (in centimeters)

1. Jl. Gadang, 2.03 1.46 57

North Jakarta

2. Jl. Raya Kapuk, 2.32 2.11 21

West Jakarta

3. Jl. Pulo Gebang, 11.62 11.45 17

East Jakarta

4. Jl. Raya Pasar 28.76 28.46 30

Minggu,

South Jakarta

5. Jl. Sunter, 3.42 2.40 102

North Jakarta

Source: City Mining Agency

Tuesday, February 22, 2005

Perlu Pembenahan Besar untuk Wujudkan Megapolitan

Kompas, Selasa, 22 Februari 2005

Jakarta, Kompas - Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Sutiyoso mengemukakan, pembenahan besar-besaran di seluruh wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi diperlukan untuk mewujudkan Megapolitan yang membuat lima daerah dengan lima pemerintahan daerah itu terintegrasi. Usulan perwujudan Megapolitan itu telah disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengantisipasi potensi kelebihan kapasitas kota. Presiden sendiri menanggapi dengan positif mengenai usulan itu.
"Pembenahan besar-besaran akan dilakukan untuk mewujudkan Megapolitan. Kalau tidak, bahayanya Jakarta akan berpotensi overcapacity. Jika itu sampai terjadi, dampak sosialnya akan luar biasa. Suplai air bermasalah, kriminalitas tinggi, dan kota menjadi sangat semrawut. Potensi ini menjadi makin nyata karena kita tidak bisa membendung urbanisasi dengan baik," kata Sutiyoso seusai mendampingi mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Ali Sadikin dipanggil menghadap Presiden Yudhoyono karena sebelumnya ia telah berkirim surat mengenai keprihatinan dan kepeduliannya terhadap pembangunan Jakarta yang tidak terintegrasi dengan empat daerah penyangganya, yaitu Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
"Metropolitan seperti sekarang tak mampu mengatasi masalah urbanisasi, seperti sampah, banjir, air minum, dan pencemaran lingkungan. Urbanisasi tiap tahun mencapai 200.000- 250.000 orang. Pak Ali mengemukakan usulan Megapolitan yang membuat kebijakan pembangunan Jakarta dan empat wilayah penyangga lain terintegrasi meskipun pemerintahannya berjalan sendiri-sendiri," ujar Sutiyoso.
Untuk integrasi itu, Sutiyoso mengingatkan Presiden Yudhoyono mengenai rencana tata ruang wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, serta Puncak dan Cianjur yang telah selesai disusun sejak pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan tinggal diterbitkan Keputusan Presiden-nya.
Sutiyoso juga mengusulkan kepada Presiden Yudhoyono mengenai perlunya koordinasi baru atas wilayah Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi yang diintegrasikan. Koordinasi yang selama ini dilakukan lewat Badan Koordinasi dan Mitra Praja Utama tidak efektif berjalan.
"Untuk wilayah terintegrasi itu, harus ada satu manajemen dengan menunjuk salah satu menteri atau seperti usulan Pak Ali dengan memperluas wewenang Gubernur DKI Jakarta menjadi koordinator. Untuk ini, perlu ada payung hukum agar tidak terjadi konflik kepentingan antardaerah. Atas usulan ini, Presiden Yudhoyono merespons dengan baik," kata Sutiyoso. (INU/HAR)

Banjir Lagi, "Ngungsi" Lagi...

Kompas, Selasa, 22 Februari 2005

SEJAK musim penghujan datang awal tahun ini, sudah tiga kali warga bantaran Kali Ciliwung mengungsi. Jika dicermati, warga yang mengungsi, ya itu-itu saja. Mereka berasal dari Kelurahan Bukit Duri, Kampung Melayu, Bidara Cina, Cawang, Kebon Baru Tebet, dan Cililitan.
Terakhir pada Senin (21/2) kemarin, sebanyak 429 warga RW 02 dan 03 Kelurahan Kampung Melayu kembali mengungsi ke halaman SD dan SMP Santa Maria di Jalan Jatinegara Barat, Jakarta Timur. RW 02 dan 03 memang daerah terendah yang setiap tahun terlimpasi air kali.
Sejumlah warga menuturkan, air Kali Ciliwung mulai masuk ke rumah warga sejak Senin pukul 01.00 dan mencapai puncaknya pada Senin pagi. Fatimah (60), warga RT 8 RW 2, mengatakan, makin hari hatinya makin waswas setiap kali ada informasi hujan di Bogor.
"Sekarang, banjirnya makin sering. Dulu kan tidak setiap tahun begini. Ini dalam dua bulan saya sudah tiga kali ngungsi," ujar Fatimah sambil melahap nasi bungkus sumbangan dari dermawan.
Ani (52), warga RT 9 RW 2, menambahkan, Kali Ciliwung terasa makin dangkal saja dari hari ke hari. "Lumpur ikut pula terbawa, jadi ya makin dangkal. Apa pemerintah bisa mengeruk kali ya, supaya makin dalam sungainya," ujarnya berharap.
Warga bantaran kali memang terbiasa dengan banjir. Jika air naik belum sampai dua meter, mereka masih bisa bersantai. Mereka juga sudah mulai bisa hidup harmoni dengan banjir, antara lain dengan membangun rumah dua lantai.
Namun, makin tingginya intensitas banjir, tak urung membuat mereka gelisah. Ada ratusan bahkan ribuan anak- anak yang juga turut merasakan dampaknya, yaitu terserang berbagai penyakit, mulai gatal-gatal hingga diare.
Derita tidak hanya dirasakan warga di bantaran Kali Ciliwung, tetapi juga mereka yang tinggal di pinggir Kali Pesanggrahan dan Krukut. Beberapa waktu lalu, Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum Basuki Hadimulyono mengatakan, dua kali yang berhulu di Jakarta Selatan itu makin hari makin sulit dikendalikan.
Di hadapan Komisi V DPR, Basuki juga mengakui susahnya pengendalian banjir dan sungai di Jakarta yang 40 persen daratannya berada di bawah permukaan air laut itu. Untuk itu, Komisi V menawarkan satu payung hukum tentang pengendalian banjir sehingga penanganannya lebih komprehensif dan anggaran yang dikucurkan menjadi lebih besar.
Luapan air dari Kali Pesanggrahan kemarin menyebabkan Kompleks Departemen Luar Negeri (Deplu) di Kelurahan Bintaro, Kecamatan Pesanggrahan, tergenang. Air mulai menggenangi permukiman warga sejak pukul 06.00.
Genangan terus meningkat mencapai ketinggian sekitar 70 sentimeter. Kondisi itu semakin parah seperti terlihat di permukiman yang terletak persis di bantaran kali. Meningginya genangan air terjadi setelah pintu air Sawangan, Depok, dibuka.
"Ketinggiannya bisa mencapai satu meter tuh," kata Gempur, warga Kompleks Deplu RT 05 RW 03, sambil menunjukkan rumah-rumah warga di bantaran kali.
Untuk keluar dari lokasi banjir, pihak Kelurahan Bintaro cuma menyediakan satu perahu karet. Fasilitas itu pun diletakkan di jalanan yang tergenang air, tanpa disediakan petugas-petugas lapangan. Seorang warga di kawasan Puloraya juga menyebutkan, luapan air terjadi pula di bantaran Kali Krukut.
Wakil Kepala Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Wishnu Subagyo mengatakan, saat ini memang belum ada regulator untuk penanganan Kali Ciliwung. Makin banyaknya warga yang tinggal di bantaran kali menyebabkan makin sulitnya upaya normalisasi sungai. "Karena itu, penanganan Kali Ciliwung saat ini wewenangnya ada pada pemerintah pusat," ujarnya menjelaskan.
Pimpinan Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane Bambang Sutjipto Yuwono mengakui, normalisasi Kali Ciliwung memang menjadi wewenangnya. Namun, pihaknya tetap mengharapkan kerja sama dengan Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta.
"Untuk mengeruk sungai, tentu harus ada pembebasan lahan. Kalau hanya mengeruk saja, ya bantarannya bisa longsor semua. Pengerukan itu pun harus dilakukan pada musim kemarau. Kalau sekarang, ya tidak bisa, apalagi kalau alirannya deras, bisa roboh semua," paparnya.
Bambang membenarkan bahwa Kali Ciliwung makin tidak terkendali. Itu terbukti dengan makin kerapnya warga kebanjiran. Salah satu alternatif adalah warga bantaran kali harus bersiap-siap pindah tempat tinggal. Pengendalian Kali Ciliwung berupa pembangunan Waduk Ciawi jelas belum bisa diharapkan mengingat saat ini masih dalam proses detail desain.
Tragisnya, lanjut Bambang, tahun 2005 ini tidak ada anggaran untuk pengerukan dan penurapan Kali Ciliwung. "Tetapi, kalau banjir, kami dan DKI tetap menjaga sampah di Manggarai dan Kalibata," ujarnya. Jika sudah demikian, pupus sudah harapan warga. (IVV/OSA)

Sutiyoso, Kebersihan dan Rokok

Kompas, Selasa, 22 Februari 2005

GUBERNUR Sutiyoso kerap membuat kejutan. Ketika warga meributkan kemacetan, ia membangun busway yang bikin sejumlah jalan makin macet. Akan tetapi, Sutiyoso tidak menghiraukan. Ia jalan terus dan busway ternyata cukup berhasil menampung warga yang menginginkan angkutan umum lebih cepat.
Ketika publik meributkan ruang terbuka hijau, ia malah membangun air mancur di Bundaran Hotel Indonesia, sementara Taman Monumen Nasional dipagar serta diisi rusa. Warga meributkan pilihan Sutiyoso itu, tetapi setelah air mancur rampung, Monas selesai dipagar, dan ada rusa di dalamnya, warga juga bisa menerima dengan baik. Gubernur kemudian membangun jalur pejalan kaki (pedestrian) yang lumayan baik dan resik di sepanjang Jalan MH Thamrin dan sebagian Jalan Jenderal Sudiman.
Ia juga ngotot membangun monorel. Tetapi, itu terkesan dipaksakan dan ternyata pembangunannya berjalan lamban. Padahal, kalau ia menggunakan segenap energinya untuk lebih lekas menuntaskan proyek itu, Jakarta sebagai metropolitan akan melakukan lompatan jauh ke depan dalam aspek transportasi darat.
Hal terakhir yang ia lakukan adalah mengegolkan gagasan larangan merokok di tempat-tempat tertentu di wilayah DKI Jakarta. Larangan yang disertai dengan sanksi itu tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Jika perda tersebut sudah efektif diberlakukan, warga tak boleh merokok di sembarang tempat. Sejumlah tempat yang tak boleh dijadikan tempat merokok adalah tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, dan tempat yang secara spesifik menjadi tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum. Setiap pelanggar dikenai denda Rp 50 juta atau kurungan enam bulan.
LARANGAN merokok itu merupakan refleksi dari sikap menghargai peradaban, menghormati warga yang memandang aspek kesehatan sebagai hal yang tak bisa ditawar-tawar.
Dengan larangan merokok ini, berarti DKI melangkah jauh ke depan dan mendekati kota-kota di negara- negara maju yang beradab dan sangat antirokok.
Di Amerika Serikat (AS), sekadar menyebut contoh, larangan merokok bahkan jauh lebih ketat dan keras. Para perokok awalnya cuma dikelompokkan di sudut tertentu. Lalu, meningkat lagi, ke ruang tertentu dalam sebuah gedung atau area publik. Kemudian meningkat lagi, ruang tertentu di gedung tertentu saja. Meningkat lagi menjadi sama sekali tak ada tempat di gedung, harus di teras atau halaman terbuka (open air). Kini, harus menepi di ruang terbuka yang tak banyak bersinggungan dengan manusia bukan perokok.
Sengsara betul nasib para perokok di AS. Tetapi, sengsara atau tidak, masalah kesehatan dan kepentingan publik sungguh merupakan pilihan yang tak bisa ditawar-tawar. Jika Anda menolak peraturan itu, silakan saja, tetapi segenap denda dan hukuman lain menanti Anda. Dan tahu sendiri kerasnya penegakan hukum di AS.
Di negara yang belum semaju AS, misalnya Singapura, kebijakan tentang larangan merokok juga amat keras. Anda dilarang merokok di dalam gedung, kecuali di ruang yang dikhususkan untuk itu. Di udara terbuka boleh, tetapi siap-siap dilirik dengan pandangan tidak enak oleh warga yang antirokok.
Baik AS maupun Singapura mampu menjalankan peraturan tentang larangan merokok itu dengan baik karena penegakan hukum di kedua negara itu sudah sangat baik.
INDONESIA, DKI Jakarta khususnya, dapat melihat bagaimana AS dan Singapura dalam hal penegakan hukum. Perda tentang pencemaran udara ini akan dihormati kalau para penegak hukum dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Sebelum ini, DKI mempunyai perda tentang kebersihan, larangan membuang sampah bukan pada tempatnya, tetapi perda itu cuma tinggal perda yang bisu, tak diterapkan. Sebab, pelanggarnya tidak dihukum.
Akan sangat ideal kalau para penyelenggara pemerintahan tidak hanya pandai melahirkan perda, tetapi mampu pula menegakkan regulasi itu dengan memberikan sanksi bagi para pelanggarnya.
Denny Kailimang, Advokat

Survey won't stop corruption

--The Jakarta Post , 22 February 2005

The capital has been voted the most corrupt city in the country, according to a survey by Transparency International Indonesia (TII). The Jakarta Post interviewed residents here to get their comments on the survey's result.
Fahmi, 34, a taxi driver living with his wife and two children in Cipayung, East Jakarta.
Reports suggesting Jakarta is the most corrupt city did not surprise me. It was only a confirmation of what many Jakarta residents already know. The people have long complained that they must pay "extra fees" to government civil servants when they require city services.
I think Bang Yos (Governor Sutiyoso) ought to be ashamed by the report. And I hope that he will be tougher against corrupt city officials.
One thing I'm concerned most about is corruption by traffic cops. There are policemen who simply stop public transportation drivers, inevitably find some minor technical problem, then essentially force them to pay a bribe.
Therefore, I am also not surprised that the police department is considered the second most corrupt institution.
I'm actually pessimistic that such a survey will stop or reduce corruption, because it all boils down to the fact that these corrupt people have no shame.
Santi, 20, works as a janitor at the House of Representatives building in Senayan, West Jakarta. She is a high school graduate, who lives with her parents in Cipulir, West Jakarta.
Well, I only know a little about the issue from television reports. I do not read the papers.
I've heard that many corrupt officials have not been punished. Because of that, they will continue their corrupt ways.
Pak SBY (President Susilo Bambang Yudhoyono) has promised that he would punish corrupt officials. I hope he will fulfill that promise.
I have several experiences of paying bribes, for example, when I last renewed my identity card and when I had to get my yellow work card (work eligibility form issued by the district manpower office). But I forget the exact amount of those bribes.

Financing solutions for the Infrastructure development

by: David O'Brien, Jakarta

The recent infrastructure summit has provoked plenty of discussion. Much of the focus has been upon the framework required to restore private sector investors' confidence. Little has been written about creating an environment that will help lower the overall costs to Indonesia.
These cost savings can be largely achieved by transparent competitive tendering, reducing exchange rate exposure and creating asset classes best suited to different investor risk profiles.
Appropriately structured infrastructure projects offer long term, secure, measurable cash flows. The very nature of the investments (comparatively low risk) means there will not be spectacular returns but the stability provided should be a necessary part of any well weighted investment portfolio.
The risk is usually lessened by the government providing a concession or a government entity being the off taker. The security and term has the potential to appeal to both institutional and retail investors.
The long term nature of cash flows is particularly suited to pension funds and insurance companies. These funds face liabilities to fund pensions/pay life assurance over a similar (long) time period. A pension fund needs to protect its members' capital. It is doing a disservice if the earnings generated on that capital are consistently below an appropriate risk based return.
It is true that historically equity investments have provided the greatest return on invested capital as an asset class. However these investments have also been subject to significant volatility. The stream of cash flows in the short to medium term cannot be assured, leaving the ability to meet its commitments in doubt. As a proportion of assets for a pension/insurance fund portfolio it should not predominate.
In the current Indonesian case the split of asset classes is 10 percent in equities, 10 percent property, 60 percent cash deposits and government bonds and 20 percent in other bonds. These latter bonds are likely to be in local companies and of a higher risk bearing class than that proposed for infrastructure assets. The 60 percent held in deposits and government bonds does however seem too risk averse to cover potential volatility in the balance of asset classes.
The Association of Indonesian Pension Funds (ADPI) has announced that it wishes to have more exposure to the sector (The Jakarta Post, Jan. 27, 2005). However they discuss equity investments in the firms that are developing assets. As an asset class this is the same as equity and shares all the same risks, albeit the particular company develops infrastructure.
ADPI would be better off to consider investing in the underlying assets which have security over the underlying cash flows. The developer of the infrastructure is best treated as a separate entity to best match different investor risk profiles. The Indonesian capital markets need to consider the development of new products that split the risk of asset developers and asset managers. A potential structure I describe below.
This is whereby separate listed vehicles are created to reflect the different risk profiles of development/construction and management. One vehicle will hold the project assets and make distributions based upon the project cash flows. These distributions can often be tax advantaged due to the large depreciation allowances associated with such major infrastructure.
The second vehicle is responsible for successful development and management/operation of the assets constructed. This entity therefore has a higher risk profile as it is responsible for successful, timely completion of project (s) and their ongoing operation. It may be that this second entity can develop and or manage other facilities. This may provide for a growth premium which can be ascribed to this component of the entity. The management fees earned are usually subject to performance targets being bettered.
It is the first vehicle that is ideally matched to an investor with a long term liability horizon and need for stable, secure returns. They may still hold a much smaller proportion of their portfolio in the development/management company to ensure an appropriate risk based weighting.
The wonder of infrastructure investments to generate cash flows for investors is further enhanced by financial engineering. The quality of cash flows inherent in the asset allows for high levels of gearing. This in turn creates an interest tax shield that reduces tax liabilities and creates additional value for investors.
Using the "lazy" capital of local institutions will also reduce project costs via the reduction in exchange risk. Revenue streams for infrastructure projects are denominated in local currency terms, unlike mining/oil projects where output has an international price.
The infrastructure is fixed in place and although tariff mechanisms linked to exchange rates and inflation are often implemented (as was the case with Indonesian electricity rates pre crisis) the ability to pass on extremely large increases in a single quarter is not possible.
The ideal environment is to have a liquid capital market in local currency terms. Such a market allows debt to be raised in the currency denominated by cash flow. If raised in foreign currency terms, the liquidity of the market would allow all or a portion to be swapped for local currency via the use of derivatives. Overall improvement in the regulation and oversight of the financial sector should allow people to be confident enough to invest locally rather than abroad.
An article written in the The Jakarta Post of Jan. 20, 2005 by Tan Sri Francis Yeoh Sock Ping, CEO of YTL Corp in Malaysia was very informative. He explained how YTL had achieved local Malaysian ringgit financing for over 12,000 MW of power generation projects (US$10 billion). YTL initially dealt with a single pension fund for an initial development. Upon successful completion of that deal a new asset class was acknowledged. Contrary to existing thinking YTL was subsequently able to finance significant investment all in local currency terms.
Malaysia with a population 23.5 million and GDP/capita of $9,000 is a substantially smaller economy than Indonesia with 220 million and GDP/capita of $3,200. Development of such a robust local fund would help stabilise the rupiah and set in chain a virtuous circle of Indonesian investors having confidence to invest in Indonesia and not seek opportunities abroad as is often the case.
An ideal first step in Indonesia would be for a pension fund to support a major development through a structure that quarantined risks for the fund. Utilise the style of fund mentioned above whereby construction risk sits with an infrastructure development company. Once this has been proven as a concept it would be hoped that others will follow, both funds and other investors that see such an asset class as perfect for a well weighted portfolio.
The writer is a Technical Advisor at CSA Strategic Advisory. CSA helps businesses through a combination of "soft" behavioral and "hard" financial advice. He can be reached at dobrien@csadvisory.com -------

Saturday, February 19, 2005

Kota Terkorup dan Terkurap!

Kompas, Sabtu, 19 Februari 2005

JAKARTA menjadi sorotan lagi. Kali ini sang Ibu Kota dibilang "kota terkorup", berdasarkan survei Transparency International Indonesia (TII). Konon katanya dari penelitian TII bulan September–Desember 2004, 90 persen lebih dari 1.305 responden menyatakan pernah nyogok pejabat duit sebesar antara Rp 375 ribu dan Rp 150 juta agar urusannya licin dan rutin. Pejabat paling korup, kata TII lho, paling top dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta kantor Pajak. Nah!
Data survei TII itu dianggap biasa-biasa saja, begitu pendapat Kepala Bappenas Sri Mulyani. Sogokan sebagai uang pelicin ke dompet pejabat Bea Cukai dan Pajak, umumnya dihitung biaya tambahan bagi pengusaha, juga sebagai ongkos jaminan agar usahanya kagak diobok-obok dan diresehin pejabat korup itu.
Nanggapin soal Jakarta kota terkorup, katanya bikin geram Gubernur Sutiyoso. Sebab, temuan survei TII terhadap 21 kota se-Indonesia itu, bukan hanya menyoroti Pemprov DKI Jakarta doang. Juga semua orang tahu, di Jakarta ada pemerintah pusat, termasuk unsur legislatif dan eksekutifnya. Jadi meski Jakarta sebagai kota terkorup, belum tentunya pejabat Pemprov DKI juga dicap "terkorup". Kalau pejabat Bea Cukai atau tukang pajak yang dicap terkorup, itu kan di luar wewenang Pemprov DKI, iya enggak!
Lepas dari tangkis-menangkis itu, menurut pengusaha rekanan Pemprov DKI Jakarta, Balai Kota itu sungguh suatu "lahan korupsi" bagi PNS di sononye. Misalnya untuk memperoleh sebuah proyek, pengusaha harus mencecerkan uang sogokan ke atas sekitar 50 meja. Setiap meja pejabat keroco yang 20-an itu, sedikitnya harus nyogok uang gobanan alias Rp 50 ribuan. Kalau meja pimpinan, paling kagak harus cepekceng atau Rp 100.000. Untuk proyek besar, sogokan pun main juta-jutaan.
Dari itungan-itungan sogok sana suap sini itu, pengusaha rekanan paling top kebagian untung sekitar 15 persen. "Kalau tidak main belakang, kami takut tidak kebagian proyek. Sebab pegawai pemprov juga ikut main, minjem dan pake nama perusahaan lain," katanya sambil menjelaskan, budaya korupsi itu juga ngeruyak ke bidang perizinan. Selain ngejlimet ngurus izin, juga biaya siluman berpakaian baju dinas itu, sungguh nyekek leher dan kantong kempes pengusaha kelas cekak.
POKOKNYA dari atas sampai ke bawah, berurusan dengan pejabat kelas bawahan sampai atasan di Jakarta, memang harus kudu serba keluar duit ekstra. Interaksi korupsi ini jamaknya terjadi saat pengurusan izin kerja, pekerjaan umum, pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, ngurus izin bisnis, sampai ke pembayaran tagihan listrik dan air minum.
Di bidang perpolitikan, soal sogok-menyogok juga tetap terjadi, makanya ada sebutan money politics. Entah gimana perasaan pimpinan dan pejabat yang mengendalikan kota ini. Sebab Indonesia yang terdaftar sebagai negara terkorup di dunia, di antara 146 negara di dunia, ujug-ujugnya TII menyebutkan kalau Jakarta pun menjadi kota terkorup di negeri terkorup ini. Juru bicara Pemprov DKI menyatakan, pernyataan TII itu harus menjelaskan lebih detail interaksi korupsi apa saja yang terjadi.
Kalau Pemprov DKI tersinggung dibilang sebagai kota terkorup oleh TII, mungkin harus meminta "klarifikasi" ke TII. Namun kalau banyak warga menyebut Jakarta sebagai "kota terkurap", mungkin harus dipikirin sekali. Ibaratnya manusia, badan kota ini kulitnya lagi kurapan. Bukan cuma jalanan aspal di pinggiran kota, tapi jalan bulevar dekat Istana Negara, aspalnya sudah kurapan. Dibanding ibu kota lainnya, mungkin Jakarta kota terkurap, juga terkorup. Ups! (BD)

City should no a better job

Jakarta Post, City News - February 19, 2005

On average, 10 people with dengue fever are admitted to city-owned hospitals every day, bringing the total of dengue cases since the beginning of this year to nearly 2,000. The central government has declared an extraordinary incidence of dengue in Jakarta and five other regions, and has urged that extra measures be taken to curb the outbreak. The Jakarta Post asked residents how they deal with the issue.
Ibu Ginting, 48, runs a small stall in her house in Meruya subdistrict, West Jakarta:
Nobody in our complex has contracted dengue. Not this year and not last year.
And nobody has come to fumigate the neighborhood either.
Do you want to know how we prevent dengue outbreaks in our neighborhood? We clean the area every Sunday to eliminate places for mosquitoes to breed. We do it at our own initiative.
Hendra is in his 40s and works for a private company. The father of two lives in Joglo, West Jakarta:
I am not that worried about dengue because no one in our neighborhood has contracted it.
I take extra care to eliminate any places in my house where mosquitoes might breed.
I don't think the city administration has done enough. It should do a better job as an outbreak happens every year.
And why are they providing free health care only for dengue patients? They should provide free health care for all endemic diseases.

--The Jakarta Post

Thursday, February 17, 2005

PDB 2004 Tumbuh 5,13 Persen

Jakarta, Kompas, Kamis, 17 Februari 2005

- Perekonomian Indonesia tahun 2004 yang diukur berdasarkan besaran produk domestik bruto atas dasar harga berlaku mencapai Rp 2.303 triliun, sedangkan berdasarkan harga konstan tahun 2000 senilai Rp 1.660,6 triliun.
Itu berarti pertumbuhannya mencapai 5,13 persen dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) 2003. Padahal, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2004, pertumbuhan PDB hanya ditargetkan 4,8 persen.
Berbeda dengan PDB dua tahun sebelumnya yang hanya didorong sektor konsumsi, pertumbuhan PDB 2004 didorong juga oleh sektor yang lebih fundamental, yakni investasi dan ekspor.
Pertumbuhan PDB terjadi di hampir semua sektor ekonomi, kecuali sektor pertambangan dan penggalian. Pertumbuhan tertinggi sektor pengangkutan dan komunikasi 12,7 persen, kemudian sektor bangunan, keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan 7,72 persen.
"Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2004 didorong oleh meningkatnya permintaan masyarakat yang meliputi konsumsi rumah tangga 4,94 persen dan konsumsi pemerintah 1,95 persen. Ada pula pembentukan modal tetap bruto 15,71 persen dan ekspor," ujar Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Choiril Maksum di Jakarta, Rabu (16/2).
Choiril menyebutkan, PDB per kapita atas dasar harga berlaku pada tahun 2004 mencapai Rp 10,641 juta. Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan dengan PDB per kapita tahun 2003 yang hanya mencapai Rp 9,572 juta.
"Dalam dollar Amerika Serikat (AS), PDB per kapita tahun 2004 senilai 1.181,6 dollar AS, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2003 yang mencapai 1.115,7 dollar AS," kata Choiril.
Didorong investasi
Choiril menambahkan, pertumbuhan PDB tahun 2004 tidak hanya didorong oleh sektor konsumsi, melainkan juga diperkuat oleh dorongan dari sektor investasi. Penggunaan PDB sebagian besar masih untuk memenuhi konsumsi rumah tangga. "Sementara sisanya terbagi untuk konsumsi pemerintah sebesar 8,15 persen, untuk pembentukan modal tetap atau investasi fisik 20,99 persen, ekspor 30,91 persen, dan impor 26,93 persen," kata Choiril.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Rusman Heriawan mengatakan, kondisi PDB itu menunjukkan telah terjadi pergeseran dalam pemanfaatan penghasilan para pelaku ekonomi dari sektor konsumsi pada sektor investasi. Akibatnya, pemanfaatan penghasilan untuk konsumsi turun dari 67 persen lebih menjadi hanya 66,54 persen.
"Sementara investasi mulai meningkat. Ini diharapkan akan bertahan hingga tahun 2005. Hal itu tergantung investasi yang dilakukan pemerintah. Namun, kondisi investasi diperkirakan akan terus membaik seiring dengan upaya-upaya yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi," kata Rusman.
Peluang pertumbuhan ekonomi yang lebih besar pada tahun 2005, lanjutnya, masih tetap terbuka. Hal itu dibuktikan dengan tingginya pencapaian pertumbuhan ekonomi tahun 2004 yang mencapai 5,13 persen.
"Itu merupakan sebuah sinyal yang bagus bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2005 yang ditargetkan 5,5 persen dalam APBN akan dapat tercapai. Apalagi Indeks Tendensi Bisnis dan Konsumen triwulan pertama 2005 menunjukkan arah yang positif," kata Rusman.
Sehari sebelumnya, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) juga mengeluarkan prospek ekonomi makro tahun 2005, yang menunjukkan masih tidak berubah sesuai dengan proyeksi sebelumnya. Berdasarkan penilaian awal, setelah memperhitungkan bencana gempa di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, perekonomian Indonesia akan tumbuh pada kisaran 5-6 persen dalam tahun 2005.
Perekonomian Indonesia pada triwulan I 2005 diperkirakan tumbuh pada kisaran 5-6 persen, dengan sumbangan investasi dan ekspor yang secara bertahap meningkat. "Berdasarkan data Desember 2004, jumlah kredit yang diberikan (termasuk channeling) meningkat Rp 117,9 triliun, atau tumbuh 24,7 persen dibandingkan dengan tahun 2003, hingga mencapai Rp 595,1 triliun. Sementara itu, dana pihak ketiga (DPK) meningkat Rp 30,6 triliun menjadi Rp 963,1 triliun," ujar Kepala Biro Humas BI Rizal A Djaafara.
Belum maksimal
Pengamat Ekonomi Indef Iman Sugema menilai pertumbuhan PDB hingga 5,13 persen itu belum maksimal. Tingkat pertumbuhan PDB tersebut akan semakin kecil jika pemerintah mendasarkan pada harga konstan tahun 1993.
"Kalau menggunakan harga konstan tahun 1993, yakni hanya sekitar 4,8 persen. Jadi, jangan bangga dulu karena selisihnya hanya 0,2 persen. Ini sama sekali belum terasa oleh masyarakat kecil," ujar Iman.
Ia mengatakan, peran investasi yang mulai mendorong pertumbuhan PDB merupakan prestasi yang harus diakui. Namun, itu belum cukup. "Sumbangan investasi terhadap pertumbuhan PDB 2004 hanya 20,99 persen, lebih kecil dibanding sebelum krisis yang mencapai 30 persen," kata Iman.
Akan tetapi, pengamat pasar modal M Fendi Susiyanto menjelaskan, angka PDB tahun 2004 yang melebihi target bakal memunculkan ekspektasi bahwa pertumbuhan ekonomi akan jauh lebih baik pada tahun 2005, terutama didorong investasi riil.
Menurut dia, keyakinan pelaku pasar terhadap perekonomian Indonesia semakin tinggi, melihat pendorong pertumbuhan ekonomi tidak lagi hanya sektor konsumsi, tetapi juga investasi riil, yang pada tahun-tahun sebelumnya sulit tumbuh.
"Pasar melihat telah terjadi pergeseran dari sektor konsumsi ke sektor riil. Ini jelas merupakan berita sangat positif bagi pelaku pasar modal. Terbukti, IHSG hari ini (kemarin-Red) langsung melonjak ke level tertinggi," katanya. (OIN/faj/dis)

Jakarta Kota Terkorup * Mahkamah Konstitusi Lumpuhkan Pemberantasan Korupsi

Jakarta, Kompas - 17 February 2005

Setelah beberapa waktu lalu menyatakan Indonesia sebagai negara yang paling korup dari 133 negara, kali ini Transparency International Indonesia menilai Jakarta merupakan kota paling korup di Tanah Air, disusul Surabaya, Medan, Semarang, dan Batam. Penilaian tersebut berdasarkan hasil survei berbentuk Indeks Persepsi Korupsi untuk Indonesia Tahun 2004, dengan responden kalangan bisnis lokal hingga internasional.
Survei Transparency International (TI) Indonesia juga menemukan bahwa interaksi korupsi yang paling banyak dilakukan oleh pebisnis adalah dengan bea cukai, disusul kepolisian, militer, dan lembaga peradilan. Bahkan, jumlah suap yang dibayarkan kepada pemerintah pusat sekitar Rp 52 miliar per tahun. Paling banyak dibayarkan kepada bea cukai, yakni sebesar Rp 23 miliar, disusul pajak Rp 12,7 miliar.
Demikian hasil survei TI Indonesia yang disampaikan dalam peluncuran "Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun 2004" di Jakarta, Rabu (16/2).
Survei berbentuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2004 ini dilakukan oleh TI Indonesia bekerja sama dengan The Governance Access Learning Network (TIRI), didukung Delegasi Komisi Eropa di Indonesia dan Kedutaan Besar Denmark (DANIDA).
Survei dilaksanakan oleh Marketing Research Indonesia (MRI) di 21 kabupaten/kota di Indonesia pada bulan Oktober- Desember 2004, dengan responden dari kalangan bisnis lokal, nasional, dan internasional. Total responden berjumlah 1.305 orang.
Dalam peluncuran IPK Indonesia 2004 ini, tampil berbicara Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Sri Mulyani Indrawati, serta Ketua Dewan Pengurus dan Sekretaris Jenderal TI Indonesia Todung Mulya Lubis dan Emmy Hafild.
Survei dilakukan di 21 kabupaten/kota, yakni Wonosobo (Jawa Tengah), Banjarmasin, Makassar, Cilegon, Kota Baru, Manado, Tanah Datar, Padang, Solok, Palembang, Bekasi, Balikpapan, Tangerang, Yogyakarta, Denpasar, Pekanbaru, Batam, Semarang, Medan, Surabaya, dan Jakarta.
Paling korup
Berdasarkan hasil survei, Jakarta dianggap oleh pebisnis sebagai kota yang paling korup. Jumlah suap yang dibayarkan pebisnis mencapai Rp 10 miliar. Namun, yang mengejutkan, jumlah suap yang terbesar per interaksi korupsi dibayar pebisnis yang menangani proyek bantuan Bank Dunia dan lembaga asing lainnya, masing-masing sebesar Rp 23,6 juta dan Rp 22,7 juta.
Di tingkat daerah, total suap yang dibayarkan pebisnis kepada pemerintah daerah sebesar Rp 3,7 miliar per tahun, kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan partai politik Rp 2,4 miliar.
Dalam IPK Indonesia 2004, TI Indonesia membuat rentang indeks dengan peringkat 0-10, angka 0 menunjukkan sangat korup dan angka 10 menunjukkan bersih dari korupsi.
Selain survei soal korupsi, TI Indonesia juga melakukan pengukuran persepsi terhadap kinerja pelayanan kepada publik dari berbagai instansi pemerintah dan lembaga negara, yang dikeluarkan dalam bentuk Indeks Persepsi Pelayanan.
Pengadilan terburuk
Untuk instansi pemerintah pusat, institusi yang dinilai paling buruk kinerjanya adalah lembaga peradilan, diikuti kepolisian dan bea cukai. Persepsi masyarakat mengenai jumlah pejabat yang korup dan besarnya suap dalam tiga tahun terakhir cenderung meningkat.
Todung Mulya Lubis menegaskan, selama ini Transparency International mengeluarkan IPK yang mencakup banyak negara di dunia, dan Indonesia termasuk negara paling korup. "Kita betul-betul malu, apalagi dari tahun ke tahun peringkat Indonesia tidak mengalami perbaikan. Artinya, korupsi di negeri ini tetap dianggap sebagai endemic, systemic, dan widespread," ujarnya.
Menanggapi penilaian bahwa Jakarta merupakan kota terkorup, Gubernur DKI Sutiyoso tercenung sejenak. "Dasarnya disebut kota terkorup itu apa? Saya kira, kalau soal korupsi, itu kan terjadi di seluruh Indonesia. Apakah provinsi lain itu enggak?" kata Sutiyoso, Rabu malam.
"Saya enggak mau comment banyaklah. Itu (maksudnya, penilaian TI Indonesia) adalah informasi yang harus memicu saya untuk melakukan evaluasi dan introspeksi diri," katanya. Menurut Sutiyoso, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sudah jadi komitmennya sejak awal ia menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Dilumpuhkan MK
Kemarin putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dikeluarkan hari Selasa lalu, yang menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak berwenang mengambil alih kasus-kasus korupsi sebelum 27 Desember 2002, kembali mendapat kritikan. Putusan itu dinilai menunjukkan tidak adanya semangat pemberantasan megakorupsi di dalam diri para hakim konstitusi.
Putusan MK tersebut kembali melumpuhkan aksi pemberantasan korupsi di Indonesia. Jika pada 30 Maret 2004, MK telah membubarkan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) selaku lembaga pencegah korupsi, kini giliran KPK selaku lembaga pemberantas korupsi "dilumpuhkan" oleh MK.
Kritik keras dilontarkan oleh Mas Achmad Santosa dari Partnership for Governance Reform in Indonesia, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Munarman, Sekretaris Jenderal TI Indonesia Emmy Hafild, dan hakim Pengadilan Negeri Medan Binsar Gultom.
"MK telah melumpuhkan agenda dan aksi pemberantasan korupsi. Dengan MK memutuskan KPK tidak berwenang mengambil alih perkara sebelum Desember 2002, hal itu telah menjadikan KPK sebagai macan ompong, karena kekuatan KPK justru pada kewenangan mengambil alih perkara yang ditangani kejaksaan dan kepolisian," kata Munarman.
Menurut catatan Kompas, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dengan adanya desakan dari para mahasiswa dan tragedi berlumuran darah mahasiswa pada era awal reformasi tahun 1998, melahirkan Ketetapan (Tap) MPR Nomor XI/MPR/1998. Tap MPR yang telah memakan korban para mahasiswa itu berisikan kehendak reformasi untuk menyelenggarakan sebuah pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN.
Solusi dari Tap MPR itu adalah membentuk dua undang- undang (UU), yakni UU Nomor 28 Tahun 1999 yang melahirkan KPKPN dan UU yang melahirkan lembaga pemberantas korupsi, dalam perkembangan selanjutnya adalah UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Pada 31 Maret 2004 MK telah menolak permohonan anggota KPKPN yang mengajukan gugatan uji materi (judicial review) UU No 30/2002 tentang KPK, yang terkait dengan kewenangan KPKPN. Artinya, sejak diputuskan oleh MK, KPKPN secara resmi bubar.
"Kalau dulu yang dimatikan adalah lembaga pencegah korupsi, kini MK melumpuhkan institusi lembaga pemberantas korupsi," kata Munarman.
Menurut Mas Achmad, majelis hakim konstitusi jelas-jelas tidak memiliki semangat memberantas megakorupsi yang merugikan aset negara yang sungguh sangat banyak. "Kita semua sama sekali tidak terpikir bahwa MK justru menjadi lembaga yang berpotensi menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia," katanya.
"Saya tidak tahu suasana kebatinan apa yang ada pada majelis hakim konstitusi sehingga cara berpikirnya menjadi sangat legalistik dan sama sekali tidak mempertimbangkan suasana kebatinan saat pembentukan UU KPK. Kalau kita lihat, kasus-kasus megakorupsi terjadi justru sebelum Desember 2002," tutur Mas Achmad.
"Putusan MK ini justru menjadi celah baru bagi para koruptor. Ini kesalahan besar MK yang justru melakukan interpretasi atas sesuatu yang tidak diminta oleh pemohon. Ini kesalahan besar MK," kata Emmy menambahkan.
Keputusan MK itu memang langsung dijadikan bukti baru oleh penasihat hukum Abdullah Puteh, terdakwa korupsi dalam pengadaan helikopter MI-2 buatan Rostov, Rusia, untuk diajukan kepada majelis hakim.
Menurut penasihat hukum terdakwa-antara lain Mohammad Assegaf, OC Kaligis, dan Juan Felix Tampubolon-dengan putusan MK tersebut berarti proses persidangan kasus korupsi Puteh tidak sah. (son/vin/osa/IDR)

Tuesday, February 15, 2005

Fenomena Kota Sakit

Kompas, February 22, 2005
JAKARTA seperti tak habis dirundung masalah. Setelah banjir pada pertengahan Januari, kini Jakarta dan beberapa kota lainnya diserang wabah demam berdarah dengue. Wabah ini seakan terulang setiap tahun, dan sepertinya kemampuan warga dan pengelola kota untuk memutus mata rantai perkembangan sumber penyakit ini sudah tidak optimal lagi. Kota seakan sudah berubah menjadi sarang berkembangnya berbagai penyakit yang mengancam jiwa para penghuninya.
Kita seakan lupa bahwa korban jiwa berupa kematian dan kerugian harta benda di Jakarta serta kota lainnya akibat wabah penyakit semakin meningkat dibandingkan kematian akibat kecelakaan lalu lintas, kriminal, atau bencana banjir dan kebakaran. Wabah berbagai penyakit akibat kelalaian atau ketidakmampuan menjaga kebersihan lingkungan seakan menjadi ancaman yang menghantui semua strata sosial yang memilih tinggal di Jakarta.
Benarkah Jakarta sudah berubah menjadi kota yang sakit dan bagaimana mewujudkannya sebagai kota yang sehat? Secara sederhana, kota yang sehat adalah kota yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman sehingga mampu menghasilkan kehidupan kota yang berkualitas dari berbagai aspek teknis, sosial, ekonomi, dan budayanya. Kualitas kehidupan yang optimal akan menghasilkan tindakan kreatif dan inovatif dari penghuninya untuk menambah daya tarik kota. Dengan demikian, wajah kota mencerminkan kreasi dari perilaku warganya. Perhatikanlah kota-kota yang menjadi pusat-pusat kegiatan internasional. Daya tarik kotanya dan kehidupan warganya menjadi nilai tambah pilihan warga dunia untuk mendatanginya.
Sehatkah posisi Jakarta saat ini? Jika posisinya diperbandingkan dengan kota-kota lain di kawasan Asia Timur, sulit diprediksikan Jakarta akan meraih rating terbaik. Dilihat dari fenomena pertumbuhan kota, keadaannya sudah semakin padat dan sesak. Kualitas lingkungannya semakin sulit terjaga. Buruknya kualitas lingkungan menjadikan kota ini mudah dijangkiti berbagai penyakit lingkungan dan sosial. Penyakit demam berdarah, diare, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), serta meningkatnya angka bunuh diri adalah cerminan buruknya kualitas lingkungan. Kondisi ini semakin diperburuk dengan rendahnya rasa kepedulian warga terhadap pemeliharaan lingkungan akibat semakin padatnya tingkat permukiman dan buruknya sistem prasarana dan sarana kota serta layanan sosialnya.
Jika warga menderita sakit demam berdarah akibat semakin buruknya lingkungan kota, dapatkah dia menuntut gubernur? Belajar dari pengalaman class action warga dalam kasus banjir Jakarta 2002, sulit rasanya warga melalui pengadilan dapat menghukum gubernur. Bentuk tanggung jawab gubernur kepada warga melalui Pemerintah Provinsi DKI saat ini dilakukan dalam bentuk bantuan biaya pengobatan gratis untuk warga miskin, penyemprotan, penyuluhan, dan pembagian serbuk abate. Sementara bentuk perlindungan keselamatan jiwa dari ancaman sebaran penyakit tidak terjawab hingga saat ini. Kasus nyawa yang hilang dan rasa takut yang mencekam oleh gigitan nyamuk, jawabannya diserahkan kepada masing-masing pribadi.
JIKA nyamuk dianggap sama dengan manusia, seharusnya nyamuk dapat dianggap sebagai pelaku kriminal karena telah membunuh manusia. Pelaku kriminal harus dihukum, maka konsekuensi hukumnya nyamuk dapat langsung dibasmi atau dijatuhkannya sanksi hukum yang keras dan tegas bagi siapa saja warga Jakarta dan aparaturnya yang tidak menjaga kebersihan lingkungan.
Kebersihan lingkungan tidak terwujud mungkin karena sebagian jiwa warga kota banyak yang sakit akibat tekanan lingkungan. Kota yang padat dan semrawut akan menghasilkan jiwa warganya yang sakit. Jiwa yang sakit menghasilkan kelalaian, sifat malas, dan rasa tidak peduli terhadap sesama yang berdampak datangnya musibah penyakit bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat di sekitarnya.
Wabah penyakit merupakan cermin kegagalan koordinasi manajemen pelayanan kesehatan masyarakat dan manajemen pemeliharaan lingkungan kota. Layanan kesehatan bertindak untuk kepentingan individu pasien, yaitu bagaimana menyembuhkan. Untuk mencegah penyakit pasien, sulit untuk sepenuhnya dilakukan karena terkait jenis penyakit, karakteristik sosial warga, dan kondisi lingkungannya. Sementara manajemen lingkungan kota lebih banyak sibuk dengan masalah teknis artifisial kota. Penataan kota hanya untuk "kosmetika" wajah kota dan dilakukan pada lingkungan tertentu saja. Sementara bagaimana membasmi jutaan jentik nyamuk yang sudah bersarang di lingkungan padat dan kumuh hanya sebatas wacana yang kemudian hilang seiring dengan pergantian musim dan berkurangnya jumlah pasien.
Tindakan nyata secara sungguh-sungguh hanya dilakukan jika telah mencapai kondisi kejadian luar biasa. Nyawa manusia yang terselamatkan terlambat dilakukan dan jumlah yang mati dihitung dengan statistik, untuk selanjutnya kepentingan perencanaan tindakan selanjutnya. Kota kembali kehilangan potensi sumber daya manusianya.
Kegagalan demi kegagalan program serta bertambahnya wabah penyakit tidak memberi banyak pelajaran bagaimana membangun suatu komunitas kota yang sehat dan bebas dari ancaman penyakit. Kematian demi kematian warga hanya dianggap sebagai urusan pribadi dan keluarga. Sumber daya manusia dan besarnya investasi yang telah ditanamkan untuk mengembangkannya hilang tidak terhitung. Siapakah yang harus bertanggung jawab untuk mencegah berlarutnya masalah ini.
Mengapa kita gagal meniru cara China dalam penanganan kasus penyakit SARS. Pemerintahnya memburu warga yang sakit untuk dirawat di rumah sakit khusus untuk mencegah penularan. Mereka sangat peduli, apakah kepedulian kita harus menunggu bencana besar lagi yang harus datang?

Yayat Supriatna, Staf Pengajar Teknik Planologi Universitas Trisakti, Jakarta