Tuesday, February 22, 2005

Sutiyoso, Kebersihan dan Rokok

Kompas, Selasa, 22 Februari 2005

GUBERNUR Sutiyoso kerap membuat kejutan. Ketika warga meributkan kemacetan, ia membangun busway yang bikin sejumlah jalan makin macet. Akan tetapi, Sutiyoso tidak menghiraukan. Ia jalan terus dan busway ternyata cukup berhasil menampung warga yang menginginkan angkutan umum lebih cepat.
Ketika publik meributkan ruang terbuka hijau, ia malah membangun air mancur di Bundaran Hotel Indonesia, sementara Taman Monumen Nasional dipagar serta diisi rusa. Warga meributkan pilihan Sutiyoso itu, tetapi setelah air mancur rampung, Monas selesai dipagar, dan ada rusa di dalamnya, warga juga bisa menerima dengan baik. Gubernur kemudian membangun jalur pejalan kaki (pedestrian) yang lumayan baik dan resik di sepanjang Jalan MH Thamrin dan sebagian Jalan Jenderal Sudiman.
Ia juga ngotot membangun monorel. Tetapi, itu terkesan dipaksakan dan ternyata pembangunannya berjalan lamban. Padahal, kalau ia menggunakan segenap energinya untuk lebih lekas menuntaskan proyek itu, Jakarta sebagai metropolitan akan melakukan lompatan jauh ke depan dalam aspek transportasi darat.
Hal terakhir yang ia lakukan adalah mengegolkan gagasan larangan merokok di tempat-tempat tertentu di wilayah DKI Jakarta. Larangan yang disertai dengan sanksi itu tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Jika perda tersebut sudah efektif diberlakukan, warga tak boleh merokok di sembarang tempat. Sejumlah tempat yang tak boleh dijadikan tempat merokok adalah tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, dan tempat yang secara spesifik menjadi tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum. Setiap pelanggar dikenai denda Rp 50 juta atau kurungan enam bulan.
LARANGAN merokok itu merupakan refleksi dari sikap menghargai peradaban, menghormati warga yang memandang aspek kesehatan sebagai hal yang tak bisa ditawar-tawar.
Dengan larangan merokok ini, berarti DKI melangkah jauh ke depan dan mendekati kota-kota di negara- negara maju yang beradab dan sangat antirokok.
Di Amerika Serikat (AS), sekadar menyebut contoh, larangan merokok bahkan jauh lebih ketat dan keras. Para perokok awalnya cuma dikelompokkan di sudut tertentu. Lalu, meningkat lagi, ke ruang tertentu dalam sebuah gedung atau area publik. Kemudian meningkat lagi, ruang tertentu di gedung tertentu saja. Meningkat lagi menjadi sama sekali tak ada tempat di gedung, harus di teras atau halaman terbuka (open air). Kini, harus menepi di ruang terbuka yang tak banyak bersinggungan dengan manusia bukan perokok.
Sengsara betul nasib para perokok di AS. Tetapi, sengsara atau tidak, masalah kesehatan dan kepentingan publik sungguh merupakan pilihan yang tak bisa ditawar-tawar. Jika Anda menolak peraturan itu, silakan saja, tetapi segenap denda dan hukuman lain menanti Anda. Dan tahu sendiri kerasnya penegakan hukum di AS.
Di negara yang belum semaju AS, misalnya Singapura, kebijakan tentang larangan merokok juga amat keras. Anda dilarang merokok di dalam gedung, kecuali di ruang yang dikhususkan untuk itu. Di udara terbuka boleh, tetapi siap-siap dilirik dengan pandangan tidak enak oleh warga yang antirokok.
Baik AS maupun Singapura mampu menjalankan peraturan tentang larangan merokok itu dengan baik karena penegakan hukum di kedua negara itu sudah sangat baik.
INDONESIA, DKI Jakarta khususnya, dapat melihat bagaimana AS dan Singapura dalam hal penegakan hukum. Perda tentang pencemaran udara ini akan dihormati kalau para penegak hukum dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Sebelum ini, DKI mempunyai perda tentang kebersihan, larangan membuang sampah bukan pada tempatnya, tetapi perda itu cuma tinggal perda yang bisu, tak diterapkan. Sebab, pelanggarnya tidak dihukum.
Akan sangat ideal kalau para penyelenggara pemerintahan tidak hanya pandai melahirkan perda, tetapi mampu pula menegakkan regulasi itu dengan memberikan sanksi bagi para pelanggarnya.
Denny Kailimang, Advokat

0 Comments:

Post a Comment

<< Home